Proud to be Indonesian ! |
Di masa pra-hingga awal kemerdekaan, dikatakan bahwa
tingkat buta huruf masyarakat indonesia berada pada kisaran angka 90%, secara sederhana
angka ini menunjukkan bahwa, hanya sebagian kecil rakyat indonesia yang masuk golongan
"terdidik" waktu itu. Tapi
dikemudian hari, catatan sejarah membuktikan, kaum minoritas itulah yang
menginisiasi lahirnya kongress pemuda 1 yang salah satu hasil keputusannya
adalah kehendak adanya bahasa persatuan. Bisa dibayangkan? Mereka yang mendapat akses pendidikan
terbatas, ditengah-tengah ancaman dan penjajahan, memunculkan ide strategis
tentang bahasa persatuan yang kelak mengawali ide tentang kemerdekaan.
Tak sampai disitu, kongress pemuda 2 menjadi point penting
sekaligus titik balik kebangkitan pemuda. Sekali lagi, kelompok minoritas yang
akses pendidikannya terbatas, terancam jiwa dan raganya, dibawah tekanan
penjajahan dengan luar biasa mengikrarkan sumpah demi sebuah kemerdekaan.
Kemerdekaan yang diperjuangkan bukan untuk kepentingan politis kaum elitis
tertentu, kemerdekaan yang diperjuangkan bukan untuk ajang eksistensi kaum,
suku ataupun ras tertentu, tapi kemerdekaan yang diperjuangkan atas nama dan
untuk kepentingan rakyat. Sumpah itu mengikrarkan tiga hal, bahasa persatuan,
tanah air perjuangan, dan sebuah bangsa penuh kebanggaan.
Memaknai ikrar sumpah pemuda itu kini rasanya ironi jika
melihat ke realitas pemuda bangsa hari ini. Saat ini, data statistik
menunjukkan bahwa tingkat buta huruf tinggal "5,7%" dari total
penduduk. Lumayan progress jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Tapi
dengan progresivitas seperti itu, agenda esensial apa yang telah diperjuangkan
pemuda dan menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap kemajuan bangsa ?
Hampir di segala lini bangsa ini rapuh. Patahnya regenerasi kepemimpinan,
miskinnya inisiatif perubahan, kurang lebih dampak dari krisis gerakan
kepemudaan yang kita alami.
Sejarah selalu bercerita, perubahan besar sebuah bangsa,
perubahan yang menuju ke arah kemajuan selalu diawali dengan gerakan "people's power". Di mesir ada
ikhwanul muslimin dengan Hasan al Banna-nya, revolusi iran dengan Ali Syariati-nya, di catatan kaki selalu tertulis dengan tinta emas, bahwa gerakan
"people's power" itu selalu diinisiasi oleh "pemuda". Erich fromm, seorang Psikoanalisis asal
jerman yang merupakan pengagum besar seorang freud mengatakan dalam teorinya
tentang struktur kepribadian dalam bukunya yang sangat terkenal escape from freedem, bahwa yang membentuk seseorang adalah kondisi
masyarakat dan ideologi yang diyakini. Hasan al banna, Ali Syariati atau Kiai
dahlan di yogjakarta adalah patronase seorantg pemuda yang mampu berkembang
akibat kondisi dan ideologi yang mereka yakini.
Hal inilah yang menyebabkan seorang Moh Yamin, tokoh pemuda
yang menginisiasi lahirnya kongres pemuda, menyampaikan gagasannya tentang
bahasa persatuan di kongres pemuda 1 padahal ada banyak pilihan isu yang
mungkin dibahas dan disepakati. Ide ini lahir dan berangkat atas dasar realita
yang terjadi. Kecerdasan memahami realitas ditambah dengan keyakinan ideologi
yang utuh menghasilkan pemuda yang berkarakter problem solver. Hari ini sejarah membuktikan, ide tentang bahsa
persatuan adalah ide pemantik untuk melahirkan keyakinan tentang solidaritas
kebangsaan yang kelak ujungnya adalah negara kesatuan. Idealnya, seperti inilah
pemuda, ideologis dan filantropis.
Fenomena hari ini,
sungguh miris jika kita review kebelakang dan membandingkan dengan sejarah emas
itu. Dulu kita sibuk untuk bersatu,
menghilangkan egoisme antar suku,
ras dan agama demi sebuah kepentingan bersama. Sekarang ? di jakarta kita saling
serang suku, serang ras, serang agama hanya demi kepentingan pilkada. Dulu kita sibuk, mempelajari ideologi, agar mempunyai prinsip
yang tujuannya mewarnai khazanah kebangsaan, ada kiri dan kanan namun tetap
teguh pada satu tujuan. Sekarang ? Ideologi dan prinsip dilacurkan demi sebuah nominal materi yang ujungnya kemewahan. Dulu
kita sibuk, merumuskan dasar ketatanegaraan
untuk kehidupan berbangsa yang lebih sentosa. Sekarang? Gadget dan selfie dengan donal trump menjadi
sensasi layaknya “narkotika”.
28 oktober 1928, sumpah itu di-ikrarkan. Kemudian kelak
di"revisi" dengan kalimat yang lebih radikal oleh kalangan mahasiswa. Tombak intelektual utama dan
gerakan kepemudaan. Sampai hari ini sumpah
itu masih berlaku, masih “laris-manis” di teriakkan pada setiap aksi di
jalanan, di depan gedung birokrasi, namun seakan hilang gaungnya jika telah
masuk ke dalam gedung istana dan bertemu dalam acara "gala dinner"
dengan pemangku kepentingan. Jika memang
hanya bisa diteriakkan tapi tidak sampai dikristalisasikan, jika hanya
dijadikan semboyan tapi tidak mampu diterapkan, maka ubahlah kata sumpah
menjadi niat! Ubahlah
kata sumpah menjadi niat! Jadi beban besar itu hanya ada di sanubari, tidak
di aplikasi. Jauh lebih suci, jauh lebih sederhana...
Independece
can only be obtained and secured by
A
nation that has its spirit
Raging
with determination
Independence
or death !
-Ir.
Soekarno-
0 komentar