Jika memang terlalu berat, ubahlah kata sumpah menjadi kata niat !!!

Proud to be Indonesian !
Tulisan ini dibuat sebagai refleksi kecil terhadap momentual hari sumpah pemuda yang akan diperingati setiap tahunnya pada tanggal 28 oktober. Refleksi, dalam kamus saya sendiri berarti upaya mengevaluasi dan melihat cerminan diri melalui sebuah fakta. Tulisan tentang upaya refleksi ini hadir ditengah kondisi frustasi yang saya alami terhadap kondisi pemuda pada umumnya, dan frustasi saya sendiri secara khusus sebagai pemuda. Frustasi ini berawal dari sebuah kajian bersama kawan seperjuangan tentang sejarah sumpah pemuda. Mulai dari gerakan kepemudaan pra hingga pasca kemerdekaan. Proses penelusuran sejarah kepemudaan dan perannya terhadap bangsa, membawa saya kepada sebuah pemahaman yang menimbulkan kesadaran tentang perjuangan dan pengorbanan demi sebuah tujuan, yang mengatas-namakan kepentingan bersama, bukan individu.

Di masa pra-hingga awal kemerdekaan, dikatakan bahwa tingkat buta huruf masyarakat indonesia berada pada kisaran angka 90%, secara sederhana angka ini menunjukkan bahwa, hanya sebagian kecil rakyat indonesia yang masuk golongan "terdidik" waktu itu.  Tapi dikemudian hari, catatan sejarah membuktikan, kaum minoritas itulah yang menginisiasi lahirnya kongress pemuda 1 yang salah satu hasil keputusannya adalah kehendak adanya bahasa persatuan. Bisa dibayangkan?  Mereka yang mendapat akses pendidikan terbatas, ditengah-tengah ancaman dan penjajahan, memunculkan ide strategis tentang bahasa persatuan yang kelak mengawali ide tentang kemerdekaan. 

Tak sampai disitu, kongress pemuda 2 menjadi point penting sekaligus titik balik kebangkitan pemuda. Sekali lagi, kelompok minoritas yang akses pendidikannya terbatas, terancam jiwa dan raganya, dibawah tekanan penjajahan dengan luar biasa mengikrarkan sumpah demi sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang diperjuangkan bukan untuk kepentingan politis kaum elitis tertentu, kemerdekaan yang diperjuangkan bukan untuk ajang eksistensi kaum, suku ataupun ras tertentu, tapi kemerdekaan yang diperjuangkan atas nama dan untuk kepentingan rakyat. Sumpah itu mengikrarkan tiga hal, bahasa persatuan, tanah air perjuangan, dan sebuah bangsa penuh kebanggaan.

Memaknai ikrar sumpah pemuda itu kini rasanya ironi jika melihat ke realitas pemuda bangsa hari ini. Saat ini, data statistik menunjukkan bahwa tingkat buta huruf tinggal "5,7%" dari total penduduk. Lumayan progress jika dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan. Tapi dengan progresivitas seperti itu, agenda esensial apa yang telah diperjuangkan pemuda dan menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap kemajuan bangsa ? Hampir di segala lini bangsa ini rapuh. Patahnya regenerasi kepemimpinan, miskinnya inisiatif perubahan, kurang lebih dampak dari krisis gerakan kepemudaan yang kita alami.

Sejarah selalu bercerita, perubahan besar sebuah bangsa, perubahan yang menuju ke arah kemajuan selalu diawali dengan  gerakan "people's power". Di mesir ada ikhwanul muslimin dengan Hasan al Banna-nya, revolusi iran dengan Ali Syariati-nya, di catatan kaki selalu tertulis dengan tinta emas, bahwa gerakan "people's power" itu selalu diinisiasi oleh "pemuda". Erich fromm, seorang Psikoanalisis asal jerman yang merupakan pengagum besar seorang freud mengatakan dalam teorinya tentang struktur kepribadian dalam bukunya yang sangat terkenal escape from freedem,  bahwa yang membentuk seseorang adalah kondisi masyarakat dan ideologi yang diyakini. Hasan al banna, Ali Syariati atau Kiai dahlan di yogjakarta adalah patronase seorantg pemuda yang mampu berkembang akibat kondisi dan ideologi yang mereka yakini.

Hal inilah yang menyebabkan seorang Moh Yamin, tokoh pemuda yang menginisiasi lahirnya kongres pemuda, menyampaikan gagasannya tentang bahasa persatuan di kongres pemuda 1 padahal ada banyak pilihan isu yang mungkin dibahas dan disepakati. Ide ini lahir dan berangkat atas dasar realita yang terjadi. Kecerdasan memahami realitas ditambah dengan keyakinan ideologi yang utuh menghasilkan pemuda yang berkarakter problem solver. Hari ini sejarah membuktikan, ide tentang bahsa persatuan adalah ide pemantik untuk melahirkan keyakinan tentang solidaritas kebangsaan yang kelak ujungnya adalah negara kesatuan. Idealnya, seperti inilah pemuda, ideologis dan filantropis.

Fenomena hari ini, sungguh miris jika kita review kebelakang dan membandingkan dengan sejarah emas itu. Dulu kita sibuk untuk bersatu, menghilangkan egoisme antar suku, ras dan agama demi sebuah kepentingan bersama. Sekarang ? di jakarta kita saling serang suku, serang ras, serang agama hanya demi kepentingan pilkada. Dulu kita sibuk,  mempelajari ideologi, agar mempunyai prinsip yang tujuannya mewarnai khazanah kebangsaan, ada kiri dan kanan namun tetap teguh pada satu tujuan. Sekarang ? Ideologi dan prinsip dilacurkan demi sebuah nominal materi yang ujungnya kemewahan. Dulu kita sibuk, merumuskan dasar ketatanegaraan  untuk kehidupan berbangsa yang lebih sentosa. Sekarang?  Gadget dan selfie dengan donal trump menjadi sensasi layaknya “narkotika”.

28 oktober 1928, sumpah itu di-ikrarkan. Kemudian kelak di"revisi" dengan kalimat yang lebih radikal oleh kalangan mahasiswa. Tombak intelektual utama dan gerakan kepemudaan. Sampai hari ini sumpah itu masih berlaku, masih “laris-manis” di teriakkan pada setiap aksi di jalanan, di depan gedung birokrasi, namun seakan hilang gaungnya jika telah masuk ke dalam gedung istana dan bertemu dalam acara "gala dinner" dengan pemangku kepentingan. Jika memang hanya bisa diteriakkan tapi tidak sampai dikristalisasikan, jika hanya dijadikan semboyan tapi tidak mampu diterapkan, maka ubahlah kata sumpah menjadi niatUbahlah kata sumpah menjadi niat! Jadi beban besar itu hanya ada di sanubari, tidak di aplikasi. Jauh lebih suci, jauh lebih sederhana...

Independece can only be obtained and secured by
A nation that has its spirit
Raging with determination
Independence or death !

-Ir. Soekarno-

0 komentar