Education, its should be enjoying :) |
- Peta Pendidikan Masyarakat dunia
Dewasa ini, pendidikan dengan segala
aspek dan unsur yang ada di dalamnya, menjadi topik hangat yang sering
diperbincangkan secara luas dan tidak terbatas pada suatu sistem kelas
masyarakat, baik itu dari ras, suku dan agama tertentu. Pendidikan, menjadi
topik yang sangat seksi sejak berkembangnya era globalisasi yang sering disebut
sebagai era dan milik kaum terdidik. Berdasarkan data dari situs Wikipedia.com[1],
jumlah melek huruf masyarakat dunia di belahan dunia sudah mencapai kemajuan
yang sangat signifikan utamanya di belahan bumi Eropa.
Negara seperti, Australia, Austria
bahkan sudah mencapai tingkat melek huruf sebesar 100 % dari total penduduk
dewasa mereka yang mampu membaca. Hal ini secara singkat dan sederhana tentu
dapat dijadikan ukuran bahwa, masyarakat dunia, semakin hari, semakin terdidik.
Tingkat melek huruf yang cukup tinggi tentu disebabkan oleh tingginya kualitas
lembaga pendidikan formal (baca;sekolah) mereka dalam menunjang berlangsungnya
proses pendidikan di Negara-negara mereka. Sekolah yang menjadi faktor utama
pembelajaran tulis-menulis berlangsung telah menjelma menjadi pilar penting
dalam pembangunan suatu Negara.
Namun, realita itu hanya terjadi di
belahan bumi Eropa. Di belahan bumi lainnya, seperti di benua Asia apalagia
Afrika, ditemukan kenyataan yang sangat miris mengenai tingkat melek huruf
mayarakatnya. Di benua Asia dan Afrika, tingkat melek huruf justru mencapai
sekitar 40-50 %[2]
dari total populasi mereka. Kenyataan yang sungguh miris, mengingat pendidikan,
mendidik dan terdidik sejatinya adalah hak setiap bangsa tanpa memerdulikan
suku, ras, agama apalagi kondisi geografis.
- Kondisi Pendidikan di Indonesia
Sementara di Indonesia sendiri, tingkat melek huruf terus
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Apalagi jika coba ditelusuri progrees
yang dialami bangsa ini dari segi pendidikan baca tulis dari awal kemerdekaan
hingga sekarang. Dari sekitar 200 juta penduduk di indonesia, hanya terdapat
sekitar 3,6 jt penduduk yang buta huruf.[3]
Hal ini tentu sangat menggembirakan, mengingat jika dikalkulasikan, maka
persentase melek huruf di bangsa ini menyentuh angka > 90 %. Secara
sederhana, bangsa Indonesia sudah termasuk kategori bangsa yang“terdidik”,
tanpa menegasikan fakta tingkat buta huruf yang ada. Tapi kita stop dengan angka dan data
statistik mengenai tingkat buta huruf yang secara kasat mata menjadi dasar
penyimpulan sederhana mengenai tingkat pendidikan di Indonesia.
Beralih ke lembaga pendidikan formal
yang menjadi penunjang tingkat pendidikan dan menjadi wadah utama pemberantasan
tingkat buta huruf, sekolah. Suatu hal yang juga sangat seksi untuk dibahas
adalah mengenai infrastruktur pendidikan, utamanya pada poin lembaga pendidikan
formal seperti sekolah. Pada tingkat dan bentuk apapun, sekolah selalu punya
cerita tersendiri mengenai unsur-unsur di dalamnya, mulai dari hal yang pokok
seperti kurikulum sampai lahan “basah” seperti bangunan fisik. Media kita
selalu menceritakan bagaimana mirisnya kondisi infrastruktur sekolah yang
kadang kelihatan lebih mirip kandang sapi disbanding tempat belajar. Tak cukup
sampai disitu, kurikulum yang diajarkan pun tak luput dari "kritikan pedas" akibat penggantian kurikulum yang tidak konsisten tapi membebani dan
mewajibkan, dan parahnya, menjadi hal yang lumrah. Ganti menteri, ganti
kurikulum.
Hal ini tentu berdampak pada pola
pendidikan yang diajarkan di sekolah. Jangan heran jika, dalam berbagai kasus,
sekolah dengan segala ceritanya tidak lagi menjadi tempat yang indah untuk
belajar, sehingga pada generasi muda sama sekali tidak tertarik untunk datang
ke sekolah, namun ke tempat lainnya. Hal ini harus menjadi perhatian utama,
karena suka tidak suka, mau tidak mau, masyarakat kita masih cenderung
berpikiran tradisional, yakni menganggap sekolah sebagai satu-satunya cara
menempuh pendidikan.[4]
- Sekolah, mendidik manusia (robot) yang berprestasi
Erich Fromm, seorang psikologi sosial, psikoanalis, sosiologi,
humanisme, sosialis demokrat dan filsuf berkebangsaan Jerman yang juga
merupakan anggota asosiasi sekolah Frankfurt pernah melancarkan kritik yang
sangta tajam kepada seitem persekolahan yang menurutnya hanya mengajarkan
manusia untuk mendalami fakta melalui pengalaman-pengalaman empiris, dan
mencecoki mereka dengan fakta-fakta yang yang menurut sebagian orang, pantas
mereka ketahui.[5]
Secara
tidak langsung erich menggambarkan sekolah sebagai wadah kejam yang bertujuan membentuk individu seperti yang mereka
kehendaki bukan membantu mereka terbentuk
seperti yang diri mereka inginkan. Pendapat ini dapat kita temuai realitanya
sehari-hari, bagaimana sekolah, dengan segala hal yang telah diatur didalamnya,
berubah menjadi wadah pembentuk kepribadian yang di “setir” oleh kalangan
tertentu. Sejarah mencatat, bagaimana Adolf Hitler di “didik” menjadi dictator
kejam karena kesalahan paradigma gurunya yang menilai individu berdasarkan
unsur materi dan kelas strata social. Atau fakta kejam, hilangnya kejayaan
islam pada pelajaran sejarah sehingga yang peserta didik ketahui hanyalah
kejayaan romawi-persia dan perang dunia kedua.
Sekolah,
dengan sistem pendidikan tradisional dan dibawah kungkungan seperti itu,
melahirkan individu yang hanya bisa hidup bergerak dan “berpikir” seperti
mesin, ia mengerti banyak hal, dari teori rumit kalkulus hingga menguasai berbagai
bahasa tapi berhenti merasa. Tipologi individu seperti ini, diistilahkan
oleh erik dengan sebutan si Automaton, Individu
yang kehilangan hakikat dirinya sendiri, dan terbenam dalam khayalan tentang
kejayaan indidualitas[6].
Mirisnya,
individu yang seperti ini hanya bertugas seperti satpam di perusahan, yakni
menjaga “kepentingan” pemilik perusahaan dari hal-hal yang mengancam, agar
kekuasaan terus di hegemoni. Fakta yang terjadi, sekolah hanya di hegemoni oleh
kaum elit tertentu. Fakta ini sungguh sangat miris karena tidak sesuai dengan
hakikat pendidikan untuk mencerahkan. Menurut Gramsci, hal ini lazim terjadi,
karena memang setia orang, kelompok, kelas ataupun penguasa
yang melakukan hegemoni terutama kelas yang berkuasa akan terus mencoba
melegitimasi kekuasaan, kesejahteraan, dan kehormatannya secara idologis.[7]
Melalui
sekolah, Individu dirancang oleh penindas melalui hegemoni yang mereka rancang
sedemikian rupa, mereka manipulasi, agar para tertindas tidak sadar telah terindas, dan kalaupun sadar, menganggap penindasan
adalah hal yang wajar. Asumsi ini
dapat kita telaah melalui fenomena yang terjadi di masyarakat setidaknya dari
mereka yang menghegemoni sekolah dan kelak menjadi “robot” yang berprestasi
dengan grade yang cumlaude namun tidak memiliki nilai sama sekali.
Masyarakat golongan anak kaya dan anak orang pintar,
mereka pasti dengan bebas bersekolah dan dengan gampang lulus tapi kelak
menjadi penindas dan hegemoni baru, golongan anak miskin tapi pintar, golongan
individu bodoh tapi kaya. Golongan-golongan semacam ini kelak dibenturkan
dengan sitem sekolah yang juga di hegemoni oleh kalangan tertentu, menjadi
benang merah yang jika kita tarik, akan ketemu siklusnya.
Lebih
jauh, konsep hegemoni berjalan dengan mulus pada praktik pelaksanaan kurikulum
pendidikan di sekolah. Mtode pengajaran yang bersifat pedagogi murni, sehingga
pendidik berperan sebagai objek dan peserta didik sebagai subjek yang dianggap
tidak tahu segalanya, hingga wajib hukumnya untuk taat sami’na wa atho’na. praktik pendidikan seperti ini sangat miris
untuk dilihat dan dijalankan, karena adalah sebuah ironi jika merampas hak
kebebasan untuk berpendapat dan berpikir atau yang paling parah, berinovasi.
Proses kreatifitas dibelenggu dan dimusnahkan, mengahasilkan individu yang
bergerak dan ber”pikir” seperti robot.
- Pendidikan, Sekolah, dan Orientasi Penyadaran.
Pendidikan
sejatinya adalah proses penyadaran untuk memanusiakan manusia agar menyadari
fitrahnya menjadi manusia. Hari ini sekolah menjadi lading dehumanisasi yang cukup subur.[8] Problem ini dapat diselesaikan dengan
membangkitkan tugas sekolah sebagai usaha untuk mendidik yang berorientasi pada
penyadaran. Penyadaran yang berujung pada proses humanisasi yang hakiki.
Sekolah
harus mengubah wajahnya, mulai dari hal yang pokok sampai hal yang sederhana.
Mulai dari hal yang esensial sampai yang artifisial. Sekecil apapun itu, selama
masih bagian dari unsur pendidikan, harus dikemas dengan rapi dan baik.
Pembangunan fasilitas pokok dan penunjang menjadi langkah strategis yang
mengawali perubahan wajah sekolah. Sekolah yang baik dan bermutu, tentu
mempunyai fasilitas penunjang dan pokok yang bermutu pula.[9]
Selain itu, tentu hal yang sangat
pokok adalah mengubah paradigma tentang sistem dan pola pendidikan itu sendiri.
Mulai dari sistem pembelajaran yang tidak menganggap peserta didik seperti
objek yang harus sami’na wa atho’na tapi mengklasifikasikan mereka pada bentuk
pedagogi-kritis yang mempunyai kebebasan berfikir dan berinovasi. Dengan kata
lain, sekolah bukanlah penjara. Tapi wadah yang damai dan mendamaikan.[10]
Reformasi selanjutnya adalah proses
pendidikan yang tidak menekan hanya pada logika kritis dan nalar subjektif,
tapi pada proses penanaman akal budi. Jika dipahami bahwa pendidikan adalah
sebuah proses penyadaran yang membuat individu paham dan mengerti harkat dan
martabat kemanusiannya, maka logika kritis dan nalar subjektif belum mampu
sampai kepada tahap kesadaran itu. Diperlukan akal budi untuk sampai pada
kesadaran kemanusiaan yang sehat lahir bathin secara komprehensif.[11]
Maka semoga pemahaman mengenai
pendidikan yang bertujuan menyadarkan, dan berpusat pada proses humanisasi dan
pembebasan dari hegemoni dapat dimengerti oleh setiap individu. Pemahamn ini
penting, untuk terlepas dari hegemoni
dan dehumanisasi kaum penindas.
Semoga tidak gagal paham J
[1] Wikipedia adalah suatu ensiklopedia online yang bebas disunting
oleh siapa saja.
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_tingkat_melek_huruf
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/11/28/mwyw5l-kemendikbud-36-juta-rakyat-indonesia-buta-huruf
[4] Vernon Smith, Paulo Freire, Erich Fromm dkk, Menggugat Pendidikan : Fundamentalisme, Konservatif, Liberal, Anarkis,
(Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hal.164.
[5] Ibid., hal 344
[6] Ibid., hal 345
[7] Mukhrizal Arif, dkk, Pendidikan
Pos Modernisme : Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan (Yogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2014 ), hal. 104
[8] Vernon Smith, Paulo Freire, Erich Fromm dkk, Menggugat Pendidikan : Fundamentalisme, Konservatif, Liberal, Anarkis,
(Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hal.434
[9] Moh Yamin, Menggugat
Pendidikan Indonesia : Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara (Yogjakarta:Ar-Ruzz
Media, 2009) hal.149
[10] Ibid. 150
[11] Ibid. 172